Katanya, hidup punya jutaan cara untuk mempertemukan tiap-tiap persona ke dalam kehidupan satu sama lain. Entah untuk sekadar menjadi pengisi yang sifatnya sementara, atau justru menjadi satu-satunya dalam menghabiskan hari hingga akhir nanti.
Mungkin itu juga yang membawa setiap-setiap manusia akhirnya memiliki kesan untuk kita. Pada tiap jumpa pertama yang datangnya tiba-tiba, atau juga pada lambaian, baik tanpa kata pun dengan kata di ujung pisah.
"Seru banget kayaknya jadi kakak-kakak senior."
"Mood-nya jadi asyik terus nggak sih?"
Utara tahu bahwa dirinya yang sedang dibicarakan oleh kedua temannya barusan. Namun, ia memilih untuk tertawa tanpa perlu menimpalinya lebih jauh.
"Beneran ketemu siapa sih lo? Dapet inceran baru? Ada yang lucu atau cantik?" tanya Langit memastikan.
Utara meletakkan sendok yang baru dia seka dengan tisu ke dalam mangkuk bakso, lalu mengalihkan tatapnya pada seisi kantin, "Lihat aja kanan kiri lo, yang lucu sama cantik juga banyak, 'kan?"
Fajar menyesap kopinya lalu ikut menimpali, "Kalau itu sih juga tahu, tapi ini beda kasus. Lo nggak biasanya secerah ini."
"Matahari kali ah, lo bilang cerah."
"Yeee tanya tuh Athaya, dia pasti juga setuju." Kali ini Fajar menatap Athaya yang sejak tadi hanya mengunci mulut, namun tangannya tidak henti memetik gitar. "Bener nggak, Tha? Si Uut belakangan cerah banget, 'kan?"
Athaya menganggukkan kepala, seraya menoleh pada Utara yang kini tengah menyantap baksonya dengan cepat dan lahap, "Lumayan," imbuhnya singkat.
"Tuh 'kan bener! Semua juga nyadar kali, Ut."
Utara mengangguk selagi meraih segelas es teh manis, untuk menuntaskan santapannya siang ini. "Iya udah, atur aja baiknya gimana."
"Kepo gue sama ceweknya yang mana," timpal Langit.
"Sama," balas Fajar. "Penasaran aja setelah sekian lama dideketin macem-macem cewek, gue mau tahu dia bakal bertekuk lutut sama yang model gimana lagi."
Lagi? Utara menautkan kedua alisnya, ingin membantah ucapan Fajar, tapi tiga orang perempuan lebih dulu tiba di antara keempatnya.
"Kak Adit, maaf boleh ganggu sebentar?" perempuan yang menguncir satu rambutnya itu menyapa dengan ragu, sedang yang ditanya justru sepenuhnya memusatkan perhatian padanya.
"Apa tadi lo bilang?"
"Hmm ini, Kak. Mau nanya, ini tugasnya nanti dikasih ke siapa, ya? Soalnya tadi nggak ada yang bilang sama sekali."
"Tadi lo bilang apa?"
Kedua perempuan yang berada di sampingnya mengulum senyum disertai gurat takut. Namun, perempuan dengan name tag yang bertuliskan Rasi sebagai namanya itu kembali bersuara, hanya saja kali ini tanpa keraguan. "Itu saya nanya soal tugas ini, Kak."
Utara tersenyum, berusaha mencairkan suasana yang sudah berubah hening. "Maksud gue, tadi lo manggil nama gue siapa?"
"Kak Aditya," jawab Rasi pelan tapi cukup bisa didengar.
"Oh." Utara menggantung kalimatnya, lalu mengalihkan pandangan sekilas pada lembaran kertas di tangan Rasi. "Udah selesai emang?"
"Udah, Kak."
"Ya udah kasih ke gue aja gapapa," jawab Utara seraya mengulurkan tangan.
Ketiga perempuan yang sudah resmi menjadi adik tingkatnya itu saling bertukar pandang, lalu menyerahkan kertas yang mereka genggam pada Utara. "Makasih ya, Kak."
"Iya sama-sama."
Utara bukan laki-laki yang bisa menutupi perasaan hatinya. Ia juga bukan seseorang yang mau mengerjakan sesuatu, bila itu bukan tugas dan/atau kewajibannya. Namun, siang ini, ketiga temannya menyadari perbedaan yang begitu jelas tampak di wajah, juga sikap Utara ketika bersama dengan perempuan yang bernama Rasi tersebut.
"Oh gue tahu kenapa dia tiap abis ngospek cerah."
"Kenapa tuh, Kakak?" Fajar sengaja menimpali.
"Itu yang barusan 'kan yang jadi alesannya?"
"Siapa tuh, yang mana deh yang mana?"
"Itu maba baru itu, nggak lihat lo matanya Uut fokus banget ngeliatin pas diajak ngomong."
Utara menggelengkan kepala seraya menatap tumpukan kertas di hadapannya, "Gue selalu fokus sama siapa pun yang ngajak gue ngomong. Lo pada emang pernah gue cuekin?"
Ketiganya terkekeh pelan setelah mendengar ucapan yang dilontarkan Utara. "Iya, tapi nggak perlu tatap-tatapan juga, 'kan? Udah kayak dikunci banget tuh matanya."
Siang ini, ketiganya tahu ada yang tak biasa dari cara Utara menatap lawan bicaranya tadi. Seseorang yang mampu membuat senyum lebih mudah hadir di wajah Utara. Senyum yang jauh terasa lebih tulus dan menghangatkan, senyum yang benar berasal dari hati, bukan hanya sebagai topeng semata.
Yeayyy cerita ER new version sudah mulaiii. Gasabarrr nunggu kelanjutannya🫶🏻🫶🏻🫶🏻
ReplyDelete