track 16 - p.s. i love you
sekali-sekali cemburu
Utara's POV
Kadang gue suka mikir, pacaran tuh gunanya apa sih? Like...ya iya pengenalan, tapi kalau selama ini udah kenal terus makin kenal lagi, kenal apanya? Bakal bosan nggak nantinya? Kalau iya bosan, gimana nanti kalau mau sampai ke jenjang yang lebih serius? Yang setiap hari bangun tidur bahkan sampai tutup mata, lihatnya dia lagi dia lagi dia terus.
Well, kalau boleh jujur gue nggak pernah bosan sama Rasi. Gue bahkan mau untuk lakuin apa pun hal di dunia ini, ya yang gue bisa dan mampu, just to make sure she knows how much i love her.
Karena sumpah demi apa pun, i'm in love with her so bad, so freaking bad. Sampai kadang gue nggak tahu gimana membahasakannya dan nunjukkinnya ke dia. Saking gue beneran sesayang itu, secinta itu, dan iya sebucin itu kalau kata orang-orang mah.
Dan karena itu juga, gue nggak pernah kepikiran, gimana kalau suatu saat dia bosan sama gue? Gimana kalau suatu saat dia nggak merasa kenal gue? Atau gimana kalau dia minta putus?
Karena worst case di otak gue cuma satu, gimana gue jalanin hari-hari gue lagi kalau dia nggak ada di dunia. Bukan gue nggak bisa hidup tanpa dia, tapi gue nggak bisa bayangin dia nggak ada di bagian hidup gue. Dan itu beneran sucks, sumpah kayak, gue nggak mau kehilangan lagi setelah bunda dan adik.
And that 'pret' feeling selalu menghantui gue tiap kali mau pamitan pulang sama dia. God, apa gue harus ajak nikah aja biar nggak usah pamit pulang? Tapi masalahnya nikah nggak segampang modal ajakan dan yakin doang elah.
"Aku pulang dulu ya, Ras."
Dara di depan gue ini mengangguk sambil memamerkan senyum ayunya. "Hati-hati, nanti kabarin aku kalau udah sampe, ya." Tangan gue yang sedang mengelus rambutnya, diambil untuk kemudian digenggam. "Gausah ngebut, Dit."
"Iya, sayang. Eh, Ras."
"Hm?"
Udah gue bilang 'kan kalau gue nggak akan bosan sama dia. Meski harus setiap hari ketemu, meski pacaran gue sama dia cuma stay di apart atau cuddle atau movie time, dan paling mentok ya kulineran dan makan doang di mobil.
Tapi jujur, gue kadang kepikiran, gue takut dia yang ngerasa nggak mengenal gue lebih jauh. Gue nggak mau sampai dia merasa nggak worth it, merasa bosan, atau merasa insecure sama hubungan ini.
"Hei, kamu mau ngomong apa tadi?" pertanyaannya sontak membuat gue tersenyum, sembari menyelipkan surai hitam legamnya di balik telinga.
"Aku punya ide biar kita makin bisa kenal satu sama lain, Ras."
Hanya satu yang bisa gue usahakan untuk membuat dia merasa nyaman, seenggaknya gue akan melakukan apa pun yang bikin dia merasa tetap hidup sama hubungan kita. Sama hubungan yang masih seumur jagung ini.
"Emang ini belum kenal, ya?"
"Ih nggak gitu!"
Rasi tertawa, kali ini tawanya benar-benar renyah di telinga gue. "Hahaha ide apa, Dit?"
"Tiap malem, gimana kalau masing-masing kita ajuin pertanyaan tentang satu sama lain? By chat aja, biar kita bisa mikir juga hahaha."
"Kok kayaknya susah sampe perlu mikir? Emang bikin pertanyaannya soal ujian, Dit?"
"Nggak gitu, sayang. Ya yang kamu kepo aja atau aku penasaran gitu. Ya pokoknya yang masing-masing kita nggak tahu, not a basic one kayak makanan favorit, ada alergi atau nggak. Kalau itu sih dari dulu juga aku udah hafal," terang gue padanya yang disambut dengan kekehan dan juga anggukan.
"Oke, boleh."
"Bener, ya?"
"Ya masa bohong, Dit. Kayaknya seru!"
Gue menangkup kedua pipinya gemas, sembari mendekatkan hidung gue pada hidungnya, "Pacaran sama aku emang seru nggak sih? Biar kamu nggak punya kesempatan ngerasa bosen, Ras."
Ia tertawa sembari mencubit pelan sisi kiri perut gue, "Gombal! Ya udah sana balik, nanti kemaleman, kamu keburu ngantuk."
"Iya sayang, aku balik. Kamu kunci pintu, tutup jendela. Kalau ada yang ngetok jendela, berarti bukan manusia. Soalnya ini tinggi, yakali ada manusia manjat, Ras."
Kali ini kekehannya yang masih tersisa sudah resmi pudar, berganti dengan jemarinya yang kembali ingin menepuk lengan gue, namun lebih dulu gue tangkap untuk membawanya dalam genggaman. "Kamu jangan nakut-nakutin, Aditya."
"Fyi aja, kamu jauh lebih pemberani dari aku sih, Ras."
Dia tertawa.
Rasi gue tertawa lebih kencang dengan sebelah tangan yang ia letakkan di mulut, untuk tutupi gelaknya yang amat bisa mengisi lorong kosong apartemen. Membuat gue serta merta kembali merengkuhnya dalam pelukan, sebelum berikan satu kecupan singkat di kening, dan benar-benar berpamitan pulang kepadanya.
Setidaknya, malam ini, gue ingin akhiri hari ini dengan tawa dari bibirnya. Juga lengkung senyum di kedua bola matanya.
***
Utara's POV
"Lho kok balik?"
Jangankan Rasi, gue aja terkejut dengan keberadaan gue yang saat ini kembali ada di apartemennya. "Nggak boleh?"
"Nggak gitu, Dit. Maksudku ada apa? Ada yang ketinggalan? Atau apa?"
Raut panik Rasi nggak sedikit pun membuat kecantikannya pudar. Gue berani sumpah, kalau ini gue teriakkan lantang-lantang, dia akan bilang gue berlebihan. Padahal dia nggak tahu aja, mereka yang dengar pasti akan sepakat sepenuhnya sama ucapan gue.
"Mobilku nggak bisa nyala, sayang. Aku nggak tahu kenapa," balas gue seraya membelai rambutnya, berusaha menenangkan.
"Kok bisa? Terus gimana? Mau pakai mobilku aja?"
"Harusnya aku ditawarin buat nginep aja nggak sih?" Gue merebahkan punggung di atas sofa, sembari mengeluarkan ponsel mencari satu nama di deretan kontak, masih dengan menatapnya sekilas.
"Tahu nggak? Setiap kali kamu nginep itu aku kasian sama kamunya, Dit. Aku tuh nggak enak lihat kamu tidur di sofa, badanmu pasti sakit, 'kan? Aku sih gapapa kamu nginep, tapi kamunya yang kasian."
Refleks gue meletakkan ponsel di samping sofa, lalu menarik dia yang masih berdiri di hadapan ke dalam pelukan. "Haha, iya sayang, aku tahu. Sini kamu sini duduk deket aku aja ah, lumayan bisa meluk lagi."
"Kamu sekarang mau ngapain?"
"Ini aku mau telpon Fajar dulu. Nanti aku titip kunci mobilku sama kamu, ya. Biar besok dia aja yang urus."
Rasi yang sejak tadi meletakkan kepalanya di bahu gue, kini beralih menatap gue sambil mengerjapkan matanya. "Kamu beneran mau nginep, Dit?"
"Enggak, sayang," kini gue yang tersenyum sambil mencubit pelan hidungnya. "Aku pulang kok, lagian baju kerja sama laptop aku 'kan di rumah. Ribet kalau pagi-pagi harus balik dulu, terus baru ke kantor, nggak efektif."
"Naik mobilku aja, ya?"
Sontak gue menatapnya lekat sambil menautkan kedua alis, "Gausah, aku naik ojol aja, sayang."
"Biar lebih aman naik mobilku aja, Dit."
Gue kembali menggeleng, seraya merengkuhnya kembali. "Nggak usah, kamu aja yang pake, biar besok kamunya nggak ribet. Untung kemarin kamu bawa mobil ke apart, jadi besok kamu aman, sayang." Rasi menatap gue dengan binar khawatir di matanya. "I'm okay, Ras. Kamu gapapa 'kan kalau besok berangkat dan pulang sendiri dulu?"
"Ya gapapa, Dit."
Damn!
Gue tuh mau bersumpah kalau wanita yang namanya Rasi Alfa Karina ini, nggak boleh banget manggil nama gue dengan jarak sedekat ini. Karena bukannya fokus menelepon Fajar, gue malah tergoda buat mendekap dan menciumnya berkali-kali. Ya anggap aja ini akumulasi dari sekian tahun penantian gue buat bersama dengan dia. Iya gapapa, gue mengada-ada mungkin kelihatannya, tapi serius ini pengakuan paling jujur dari lubuk hati gue.
Kembali gue mengacak rambutnya yang dibalas oleh cemberut di bibir. "Bentar ya, sayang, aku telpon Fajar dulu."
Utara's POV
Isi kepala gue baru akan memaki Fajar dengan sikapnya yang seenak jidat, ketika Rasi sudah lebih dulu menyapa gue dengan pertanyaannya. "Gimana kata Fajar, Dit?"
Gue tersenyum, "Besok dia ke sini, sayang. Nanti kuncinya titip di kamu atau resepsionis aja bisa, 'kan?"
"Bisa kok, Dit."
"Ya udah, kalau gitu aku pulang dulu. Kali ini beneran," sambung gue sambil berdiri dan mengecup puncak kepalanya.
"Kamu beneran nggak mau pake mobilku aja?"
"Beneran, sayang." Gue mengusap lembut pipinya, sambil menatapnya lekat. "Udah ah, aku mau balik beneran, kalau ngobrol mulu yang ada makin nggak mau balik akunya."
Ting! Ting!
Tawa gue sontak meledak melihat pesan Fajar kini memenuhi layar ponsel. "Tuh Fajar udah bawel nyuruh pulang. Katanya nggak boleh pacaran terus," terang gue pada Rasi yang ternyata memicu keterkejutan pada sorot matanya.
Kali ini gue kembali mengusap pelan pipinya, sembari menenangkan ia dari seluruh curiga di sudut kepalanya. "Nggak, sayang. Fajar nggak tahu, dia cuma iseng ngeledekin aku aja."
Hela napas Rasi terdengar samar di telinga gue, yang kemudian diikuti oleh gigitan yang dia buat di bibir bawahnya. Gue tahu ada cemas yang sedang coba dia kalahkan, tapi di sisi lain gue juga paham bahwa ini semua sebetulnya tidak mudah untuk gue jalani.
Nggak gampang untuk membuat mulut gue terkunci rapat, bahkan gue terang-terangan dilarang untuk membanggakan dia di depan sahabat pun teman-teman gue. Nggak gampang untuk berpura gue masih single, padahal sebetulnya ada juwita cantik yang jelas-jelas sudah jadi permasuri di hati gue.
Tapi gue bisa apa bila perempuan gue ini belum usai dengan rasa cemasnya? Bisa apa gue selain belajar memahami perasaan dan juga pikirannya? Gue nggak mau jadi egois, tapi sesekali gue ingin untuk egois mengatakan pada dunia, bahwa her happiness is my forever happiness. Because she's mine, because she's my girlfriend.
Rasi mengulas senyumannya dan mengantarkan gue kembali menuju daun pintu, yang kini sudah setengah terbuka, "Kamu hati-hati, ya. Kalau udah sampai kabarin aku."
"Perlu aku kasih tahu juga nopol ojol-nya? Atau sekalian aku live location sama kamu?"
Kali ini ia mengangguk mantap, membuat gue mau tak mau tertawa melihat tingkahnya yang menggemaskan di mata gue. "Hahaha, ya ampun, Ras Ras. Iya iya, ya udah, aku pulang, ya. I love you."
"Nggak usah pakai too ya, Dit?"
Gue mengangguk lalu memeluknya sekali lagi, setelah menghujaninya dengan banyak kecupan di bibir dan juga pipinya yang kini merona sebab sikap gue.
No comments
Post a Comment