Utara's POV
Dulu, gue suka banget
lembur. Alasannya? Supaya gue nggak perlu kepikiran hal-hal yang nggak
penting. Apalagi sampai kangen-kangen yang nggak jelas, sama orang-orang
yang nggak bisa untuk dipeluk.
Ya itu dulu.
Tapi kalau
sekarang, gue rasanya mau marah kalau udah nggak bisa pulang tenggo.
Apalagi sampai nggak bisa memastikan Rasi pulang dengan selamat. Bukan
berarti gue nggak bersyukur dengan kesempatan kerja yang gue punya, tapi
kesal juga kalau seminggu ini kerjaan gue bolak-balik lembur terus.
Biasanya
kalau udah lembur dan kecapekan gini, gue lebih sering menginap di
hotel yang ada di dekat kantor bareng sama beberapa teman gue yang
lainnya. Karena demi apa pun, otak dan tenaga gue udah cukup terkuras
habis sampai nggak ada sisanya lagi buat ganti-gantian injak kopling dan
rem.
Lagi-lagi, itu dulu.
Karena kalau sekarang, cara satu-satunya buat re-charge energi gue di hari Jumat ini ya cuma ketemu Rasi. Gokil ya jatuh cinta tuh! Bayangin aja, cuma dengan lihat wajah orang yang kita sayang doang, semua rasa capek yang tadinya mau bikin badan copot, bisa langsung hilang. Bahkan otomatis bikin senyum terkembang.
Kayak gue sekarang ini yang lagi jongkok merhatiin Rasi tidur di sofa. Kebetulan tadi gue udah izin untuk mampir, dan dia bilang supaya langsung masuk aja, tanpa perlu membunyikan bel atau mengetuk pintu. Maka, jadilah gue di sini. Mengelus rambut dan memperhatikan wajahnya yang kelelahan, tapi kecantikannya justru nambah berkali-kali lipat.
Tangan gue masih mengelus rambutnya, ketika dia membuka matanya perlahan.
"Dit," Rasi menyapa gue dengan serak di suaranya, membuat gue otomatis tersenyum dan mengangguk sebagai balasan atas sapanya.
Gue berdiri dan hendak menuju kamar mandi, namun tiba-tiba tangan Rasi menahan langkah gue. Membuat gue mau tak mau berbalik menatapnya, dan langsung dihadiahi sebuah pelukan.
"Hei kenapa kamu, Ras? Tumben banget. Aku belum mandi lho, biasanya kamu marah kalau aku nggak bersih-bersih dulu."
Bukannya menjawab pertanyaan gue, Rasi justru mengeratkan pelukannya, membuat gue juga membalas peluknya, namun dengan kening yang sedikit berkerut. "You okay?"
"Bentar dulu, Dit. Mau peluk dulu ih!"
"Iya boleh banget, tapi nanti ya, aku mandi dulu."
"Ntar aja."
Refleks gue tertawa mendengar ucapannya. Karena jujur baru kali ini Rasi mengizinkan gue memeluk dia, padahal gue belum mandi sama sekali. Ya, as you know, Rasi tuh selain sehat juga bersih luar biasa. "Kenapa kamu tiba-tiba clingy, Ras?"
"Gapapa. Hm... Dit, kamu ngerokok ya?"
"Nggak," lekas gue menjawab pertanyaannya karena emang gue hari ini nggak menyentuh nikotin itu sama sekali, walau kerjaan di kantor udah bisa banget bikin gue menjedotkan kepala di tembok. "Ini karena temen-temenku kayaknya. Aku kalau nggak--"
Belum sempat gue menyelesaikan kalimat, Rasi justru menempelkan hidungnya tepat di dada gue. "Enak."
Berani jamin, muka gue saat ini benar-benar melongo setelah mendengar kalimat Rasi barusan, "Haa? Gimana?"
"Wanginya enak, Dit. Bau rokok, bau parfum kamu, sama baunya kamu," Rasi mendongakkan kepalanya menatap ggue, sembari tersenyum.
Andai dia udah biasa kayak gini, gue pasti nggak akan menatapnya bingung, bahkan sampai harus khawatir dengan dirinya. "Kamu beneran kenapa, Ras?"
"Gapapa, Dit," jawabnya dengan gelengan kepala dan ingin kembali memeluk gue, namun lebih dulu gue tahan. Gue perhatikan dirinya dari atas sampai bawah, dan baru gue baru menyadari kalau dia juga belum berganti pakaian kerja.
"Kamu kok belum ganti baju, Ras? Belum mandi juga ya kamu?"
Ia mengangguk, lalu kembali membenamkan wajahnya ke dada gue. "Kok tumben? Kamu kenapa? Udah makan?"
"Males."
"Males buat jawaban yang mana tuh?"
"Dua-duanya."
Gue meraih kedua tangannya yang sejak tadi melingkar di pinggang, sedikit memaksanya untuk melepas peluk. Walau sejujurnya nggak rela, tapi gue lebih khawatir melihat sikapnya yang berbeda seperti ini. "Kamu kenapa? Coba jelasin dulu."
Ia hanya menatap gue dengan kedua matanya yang terlihat begitu lelah. "Capek doang, pusing aja kepala aku sama kerjaan di kantor, Dit."
"Lucu banget."
Rasi menautkan kedua alisnya, "Kenapa lucu?"
"Baru kali ini aku denger kamu ngeluh, biasanya 'kan nggak pernah." Kali ini sepenuhnya Rasi melepaskan tangannya dari genggaman gue lalu menjauh, dan kembali duduk di sofa.
"Di kantor lagi sibuk banget ya, Ras?"
"Hmm."
Gue menyusul dan duduk di sampingnya, "Ya udah kamu mandi sana, mau aku siapin bathtub aja sekalian, Ras?"
"Nggak!" dengan cepat ia menggeleng, lalu menolehkan kepalanya menatap gue. "Yang ada aku tidur di kamar mandi, kalau harus pakai bathtub-nya."
Kadang
gue lupa, Rasi yang ada di depan gue ini tuh udah balik ke mode
awal-awal kuliah dulu. Yang nggak ada jaimnya lagi, yang bisa clingy
tiba-tiba, yang bawelnya juga kadang kebangetan, bahkan yang ngambeknya
juga selalu masuk akal.
"Kamu ngantuk banget, ya?" Rasi mengangguk sebelum menyenderkan kepalanya di pundak gue. "Mandi dulu sana, abis itu makan, baru kamu tidur. Malem ini aku aja yang masak."
Rasi lekas mengubah duduknya menatap gue, "Dit, males banget sumpah!"
Helaan
napas akhirnya lolos dari bibir gue. Bukan karena lelah, tapi jujur
kalau dia begini terus yang ada gue tergoda dan membiarkan dia nggak
mandi, dan nggak makan sampai pagi.
Bukannya enak itu badannya, yang ada besokannya dia malah sakit. Tambah panik aja gue yang ada kalau dia begitu.
Akhirnya gue mengawali untuk berdiri, dan menyodorkan tangan kepanya. "Iya tau kamu capek dan males. Tapi berdiri dulu yuk, Ras. Mandi dulu kamunya. Aku juga mau mandi, baru habis itu masak. Gih sana kamu masuk kamarmu."
Rasi
masih bergeming, ia justru menarik tangan gue untuk kemudian memeluk
gue kembali. Mau tidak mau, gue justru tertawa menatap sambil mengelus
rambutnya. "Kamu tau? Aku nggak akan nolak kalau kamu mau gini terus,
Ras. Tapi sayangnya, ini udah malem, makin malem kamu mandi, makin
kasihan badan kamunya. Ditambah belum makan juga, nanti malah jadi
sakit."
Gue kembali mengusap surai hitam legamnya, "Mandi dulu, Ras."
Kini giliran Rasi yang menghela napas menatap gue sebal, membuat gue membantunya untuk berdiri dan memintannya beranjak ke kamar. "Gih sana, i promise you, setelah mandi kamu aku kasih something delicious."
***
Writer's POV
Utara lebih dulu selesai membersihkan diri, dan kini tengah sibuk bergerak ke sana sini di dalam dapur, ketika Rasi keluar dari kamarnya. Perempuan yang mengenakan piyama tidur itu menatap Utara yang saat ini berjalan menuju ke arahnya; di meja makan.
"Semangat dong kamunya! Malam ini 'kan mau makan masakan aku."
Rasi kembali gulirkan senyumnya menyambut ucapan Utara yang sudah duduk di sampingnya, dan menyodorkan satu piring mashed potato dan juga steak daging padanya. "Dih apaan tuh senyum doang? Mahal nih masakan aku, soalnya jarang-jarang aku yang masak."
"Iya percaya, Dit, percaya," Rasi hanya menjawab singkat lalu menekuri piringnya.
Utara yang sudah lebih dulu menyantap beberapa sendok makanan di piringnya akhirnya menolehkan kepala pada Rasi. Ia letakkan alat makannya, lalu meraih tangan Rasi yang sejak tadi memainkan mashed potato, tanpa menyendokkan apa pun ke mulutnya. "Mau aku suapin aja? Biar nggak dimainin itu makanannya? Pamali, Ras, kalau digituin makanannya."
Malam ini sebetulnya menyenangkan bagi Rasi. Bisa menikmati waktu bersama Utara, bahkan bisa kembali mencicipi masakannya yang jauh lebih enak dibandingkan saat ia sakit kemarin. Ya setidaknya menurut Rasi, level kemahiran memasak Utara sudah berkembang sedikit lebih baik.
Kedua anak manusia ini menikmati makan malam mereka dengan hening yang tidak membuat canggung. Sebetulnya, ada alasan tersendiri mereka tetap larut dengan piring makan masing-masing. Ini semua sebab kebiasaan keduanya yang sepakat untuk nikmati rezeki yang dititipkan Sang Maha Pemilik Hidup, tanpa harus menginterupsinya dengan percakapan-percakapan yang mungkin bisa mengurangi nafsu makan, pun mengganggu kenikmatan dari makanan tesebut.
Utara dan Rasi adalah dua manusia yang masih begitu percaya, obrolan selepas mengisi perut jauh lebih baik daripada obrolan di tengah kegiatan makan itu sendiri. Ya walau sebetulnya, hal itu hanya bisa dilakukan jika keduanya bersama. Mengingat tak semua orang bisa pahami hal yang sama dengan kebiasaan mereka.
Tujuh menit berselang, keduanya membalikkan garpu dan juga pisau mereka masing-masing. Saling memandang, namun percikkan terima kasih lewat senyum yang dituangkan. Utara yang tadi selesai lebih dulu akhirnya bangkit, usai melihat Rasi sudah menandaskan piring dan juga gelas minumannya.
Sang puan yang sejak tadi memangku lelah akibat pekerjaan pun menghentikan gerakan tangan lincah Utara. "Biar aku aja besok, Dit."
Utara tersenyum sembari menyingkirkan tangan Rasi setelah mengenggam jemari gadis itu sebelumnya, "Aku aja sekalian, Ras. Gapapa kok."
"Besok aja, Dit."
Yang diminta hanya tertawa kecil dengar juwitanya kembali seperti saat ia tiba tadi. Dengan tangan yang sudah mengangkat dua tumpuk piring, dan juga dua buah gelas, ia alihkan pandangan juga gerakkan dagunya pada kompor yang tadi digunakan. "Look, what i've done. Itu kalau aku biarin, besok pagi mood kamu bisa jelek karena lihat berantakan. Udah gapapa, dikit doang kok ini."
Lelaki itu tahu betul, Rasi tak pernah suka menunda pekerjaan, apalagi untuk urusan sederhana yang tak perlu libatkan banyak tenaga seperti ini. Utara tentu saja tidak keberatan untuk mencuci piring, sebab biasanya salah satu cara untuk dia menenangkan diri di antara lelah dan resahnya ialah membersihkan sesuatu. Entah itu mencuci piring, mencuci pakaian, mencuci mobil, atau bahkan membongkar ulang isi kamar dan lemari.
Baru saja Utara meletakkan piring, dan ingin menyalakan keran air, Rasi lebih dulu menghampiri dan memeluk dirinya dari belakang. Mendapat serangan yang tiba-tiba seperti itu, jujur saja masih menimbulkan detak tak beraturan di dalam degup Utara. Hingga yang ia lakukan berikutnya ada mengusap tangan Rasi lalu berbalik menghadap jelitanya.
"Pantesan jadi clingy, kamu anget gini, Ras."
Rasi menengadahkan kepalanya menatap Utara dengan pandangan yang sengaja dibuat memelas. "Makanya nanti aja nyuci piringnya," pinta gadis itu sedikit manja.
Jujur saja, setelah keputusan untuk membuka diri
dan mencoba untuk membuka hati beberapa minggu lalu, Rasi pelan-pelan
menampakkan kebiasaannya yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun,
termasuk sahabat-sahabat dekatnya.
Melihat Rasi yang begitu manja di hadapannya, mau tak mau membuat Utara gemas dan menyentil ujung hidung bangir perempuan tersebut. "Kamu mau minum obat? Atau mending duduk aja dulu di sana?" telunjuk kanannya ia arahkan pada sofa di depan ruang televisi.
Membuat sang puan hanya bisa mencebikkan
bibirnya kecewa, karena pilihan Utara tak ada yang menyenangkan untuk
dilakoni. Utara terkekeh lalu mengacak rambut Rasi, sebelum menelisik
dalam pada manik mata Rasi. "Gapapa, ya, kalau kamu duduk dulu? Nonton
sendiri dulu kamunya, aku bentar doang kok ini." Rasi baru saja
melepaskan tangan, namun Utara kembali menariknya. "Minum air mineral
yang banyak sekalin, Ras. Biar turun panasnya."
"Hmm, iya," balas Rasi lirih, membuat Utara hanya tersenyum.
***
Writer's POV
Sudah lewat sepuluh menit berselang, namun Utara masih bolak-balik membersihkan kitchen island, membuat Rasi dilanda bosan yang cukup untuk membuatnya berulang kali menghembuskan napas dengan berat lewat mulut.
Rasi
yang biasa dikenal orang-orang memang tak pernah tunjukkan keluh,
bahkan rasa lelahnya. Sahabat-sahabatnya sendiri bahkan acap kali
mengeluhkan ia yang terlalu positif, untuk ukuran manusia yang lewati
hari di antara kantor-jalanan Ibukota yang tak pernah sepi-dan juga
apartemen.
Namun untuk malam ini, di hadapan Utara yang akhirnya duduk di sampingnya kembali, Rasi tunjukkan dirinya yang juga hanya manusia biasa. Yang bisa merasa lelah sebab sudah seminggu tak pernah pulang tepat pukul lima. Dan juga bisa merasakan sakit di kepala, sebab terlalu penuh memikirkan pekerjaan yang bercokol di ruang-ruang memori. Hingga tangannya tak lepas dari kepala dan juga pelipis, untuk memijatnya berulang-ulang.
"Sini," Utara meminta Rasi untuk merebahkan kepala di pundak sebelah kirinya, yang langsung disambut anggukan super cepat milik sang hawa. "Kamu capek banget, ya? Di kantor ada masalah apa emang, Ras?"
"Nggak ada masalah. Eh ya ada sih, masalah kecil-kecil, tapi emang ini tuh cuma lagi ribet aja. Aku kebetulan jadi leader, buat proyek baru gitu deh, Dit."
Diamnya Utara, membuat Rasi paham bahwa lelaki itu tengah berikan ruang untuk ia menggulirkan cerita. Tak ayal hal tersebut, justru membuat Rasi melingkarkan tangannya pada tubuh Utara lalu membenamkan kepalanya di dada bidang lelaki itu.
Utara sempat terhenyak menatap Rasi yang kini mengubah posisi duduk menghadap dirinya. Ada debar yang sejatinya tak bisa dia sembunyikan, sebab gembira juwitanya mau bercerita padanya, diiringi dengan sikapnya yang juga menyenangkan untuk ditenangkan.
"Kemarin aja, habis kamu pulang dari sini, aku ada concall di jam 11, Dit. Terus tadi pagi, aku langsung meeting sampai tiga kali. Beneran deh, baru kali ini aku rasanya pusing banget, Dit."
Utara tersenyum maklum
sembari mengusap dan memainkan rambut Rasi. Di sudut isi kepalanya
tengah ia pinta dirinya untuk tetap temani Rasi di sini, membiarkan
gadis itu bercerita sepanjang malam, hingga lelap memangku keduanya.
Tapi di sudut lain pikirannya, ia sadar betul untuk segera pula, agar
bisa beristiraha dengan segera, tanpa perlu interupsi kepulangannya.
Tak kuasa tentukan pilihannya sendiri, Utara akhirnya ajukan pertanyaan tersebut pada sang juwita. "Hari ini, kamu mau aku pulang atau nggak, Ras?"
Sempat ada jeda beberapa menit, sebelum Rasi menghirup pelan napas dari dekap sang tuan, dan duduk tegap menatap dwinetra Utara. "Gapapa kamu pulang aja, Dit. Tapi bentaran lagi ya, i need you right now. Aku lagi pengen ditemenin dulu aja."
I need you. Sebuah ucap yang terdengar begitu manis dari bibir Rasi. Membuaat Utara tersenyum, "Aku nggak pulang kalau gitu."
"Dit."
"Wherever or whenever you need me, i'll make sure, i'm always here, Ras. Di samping kamu, nemenin kamu."
Tidak
pernah ada yang lebih manis dibandingkan rasa dibutuhkan. Setidaknya
bagi Utara untuk sekarang demikian. Hingga saat perempuan yang sudah
taklukkan hatinya itu gemakan kata butuh, Utara hanya punya satu
kesimpulan di benak. Ia tak ingin Rasi menjauh, bahkan tak sanggup untuk
menjauh dari sang juwita malam ini.
Rasi yang tengah rengkuh semua lelah, berakhir membalas tatap Utara yang malam ini terlihat amat teduh. Seolah ingin mengabarkan pada dirinya, bahwa saat ini fokus lelaki itu hanya ingin berikan nyaman, untuk rebahkan semua lelah milik Rasi. Tanpa terganggu dengan lingkaran hitam di bawah dua mata lelaki itu. Yang tandakan bahwa Utara pun rasakan lelah yang hampir sama dengan dirinya.
Hening cukup lama mengunci tatap keduanya, sampai kemudian Utara mengulurkan tangan yang kali ini mendarat di pipi kiri Rasi, membiarkan ibu jarinya mengelus permukaannya lembut. Pandangannya menilik setiap inci dari wajah Rasi, sebelum akhirnya dibenamkan penuh pada dwinetra legam milik perempuan kesayangannya itu. "Kamu boleh cerita apa pun ke aku, Ras. Capeknya kamu sekalipun boleh. Jangan disimpen sendiri, jangan juga ditutup-tutupin. Dibagi, biar aku dengerin dan ringanin beban kamu juga."
"Aku baru pertama kerja, Dit," jawab Rasi dengan tangan kanan yang kini berada di atas tangan Utara yang masih rangkum pipi kanannya. "Baru kali aku bener-bener yang pertama kalinya fokus kerja aja. Jadi semua emosinya numpuk gitu, Dit."
"I know," hanya itu jawaban yang Utara berikan. Tangan kirinya masih betah mengelus pipi Rasi, sementara tangan kanannya kini menggenggam tangan kiri Rasi. "Kamu gamau coba buka usaha sendiri aja? Biar lebih fleksibel atur jam kerjanya, biar lebih enjoy lagi juga, dan nggak sampai overload."
Sang puan tertawa kecil, "Aku tuh suka banget kerja di Alive, Dit. Cuma gatau, hari ini lagi manja aja. Efek pms juga kali, ya. I don't know, maaf kalau aku clingy ke kamu."
"Yakin?" Rasi berikan anggukan paling yakin yang ia punya. "Kalo kamu udah nggak nyaman bilang ya, Ras. Biar nanti aku bantu cari alternatif kerja lain atau sekalian aja kita bikin bisnis bareng. Wujudin impian kamu dan sama Tari. Dulu kalian mau bikin usaha bareng, 'kan?"
Pikiran Rasi melambung pada gurauannya dulu dengan Utari, yang ternyata didengar dan diingat oleh Utara. Ada hangat yang menjalar di relungnya. Dari dulu ia tahu betul Utara adalah orang baik, yang menyayanginya dengan tulus. Sesuatu yang sering kali ia anggap tak pantas untuk dirinya dapatkan. Dan di malam ini, ia kembali disadarkan bahwa perasaan Utara masih begitu dalam untuk dirinya.
"Yang penting itu nyamannya kamu dulu, Ras. Kalau kamu udah nggak nyaman, jangan dipaksa, oke? Nanti jadinya nggak ikhlas."
Rasi anggukkan kepalanya usai dengar kalimat demi kalimat Utara. Seulas senyum yang begitu indah tergambar di bibir dan matanya, membuat Utara terhipnotis dengan waktu yang kali ini seolah tengah berhenti di antara keduanya.
"Ras, izinin aku jaga kamu terus, ya. Izinin aku sayang sama kamu, dan kasih semua yang terbaik yang aku mampu buat kamu. Maybe I'll give you nothing but my love and we can cherish every moment. I just, i just wanna make sure that you're happy, Ras."
Bagi Utara saat ini, buang jauh-jauh upaya untuk pelan-pelan mendekati Rasi dan membawa hubungan ini pada satu jalin terikat. Karena melihat Rasi yang malam ini berani tunjukkan rapuh dan lelahnya, Utara takkan pernah rela bila gadis ini menghilang lagi dan pergi dari jangkauannya.
Manik mata Utara masih menelusuri tiap inchi wajah Rasi, bahkan Rasi tahu bahwa pandangan lelaki itu kini berhenti tepat di bibirnya. Dan ia juga lebih dari sekadar tahu apa yang akan mungkin terjadi selanjutnya. Namun sebelum itu terealisasikan, ia lebih dulu mengigit ujung bibirnya sendiri sembari berujar, "Wouldn't I be a fool if I turn it down?"
Malam ini perempuan itu mengaku jatuh. Tidak dengan tiba-tiba, tapi juga tidak ingin terburu-buru. Ia paham dengan pilihannya, meski ia tahu ada takut dan resah yang juga memeluknya. Tapi entah mengapa, ia percaya jika Utara bisa temani semua jalannya untuk urai semua perasaan itu.
Mendengar jawaban serta pertanyaanRasi tadi, senyum lebar Utara kembali terbit. He leans forward with one hand lifting her chin, and he slowly cut the distance between them. Tonight, for the first time for them, he kisses her lips. Softly, quietly, no pressure.
Detak jarum jam di dinding
bersatu padu dengan debar di dadanya yang juga tak kalah berisik, namun
berangsur tenang ketika Rasi juga balas kecupannya, dan lingkarkan
kedua tangannya di leher Utara. Di sela ciuman keduanya, ada senyum yang
masing-masing hadirkan. Seolah mereka tengah sampaikan semua perasaan
yang selama ini hanya ada tersimpan rapi di dada, tanpa berani
disuarakan dengan lantang.
Sesekali mereka melepaskan tautan itu untuk menatap satu sama lain, mencoba meyakinkan diri masing-masing bahwa ini yang memang dinanti dan selama ini saling dicari. Hingga dering alarm di ponsel Utara--yang biasa dia pasang bila sudah waktunya pulang--membuat keduanya tertawa dan saling rengkuh dalam pelukan masing-masing.
No comments
Post a Comment