Sebagai janji pada diri sendiri
yang sudah sering kali diingkari—terpujilah elo dengan omong kosong lo, Bell—mari
perkenankan hari ini sedikit berbacoti ria entah dalam rangka apa. Mungkin
dalam rangka isi kekosongan aja. Sok kosong padahal deadline di depan mata nggak pernah dipeduliin. Hahaha. Oke oke.
Jadi, sesuai judulnya; Moving On.
Gue ingin sedikit bercerita tentang
perjalanan berpindah yang memang nggak pernah mudah. Dalam hal apa pun sih
sebenarnya, tapi tenang, kali ini bukan tentang perasaan. Kenapa nggak soal
perasaan? Karena udah lama rasanya kekeringan melanda. Cieilah. Skip aja,
Chingu!
Iya, akhir tahun menjelang awal
tahun gue disibukkan dengan pindahan.
Dan itu melelahkan. Sungguh-sungguh
melelahkan.
Sampai-sampai gue bilang gini ke
Nyokap, “Ma, nggak bisa apa ya ini barang-barang di tring langsung pindah
tempat dan rapi lagi?”
Karena di antara semua hal
melelahkan di rumah, yang bikin males adalah lo packing rapi barang-barang, terus udahannya ditata lagi. Nah itu
yang bikin capek. Itu yang bikin pindahan jadi terasa double kill.
Lalu setelah dipikir-pikir, memang
urusan berpindah tuh nggak pernah mudah, ya?
Ada sesuatu yang harus lo buang,
agar tidak memberatkan. Ada sesuatu yang harus lo pilih dan pilah, penting atau
nggaknya untuk kemudian dipertahankan. Ada sesuatu yang harus lo rapikan dan
kelompokkan, agar kemudian lebih muda dicari dan ditemukan.
Hati juga kayak gitu nggak, sih?
Masa lalu deng. Kalau hati mah
selalu gitu-gitu aja. Memori dan kenangan bersama seseorang yang seringnya
harus dianalogikan seperti itu juga.
Nggak semuanya bisa dibawa ke tempat
baru, karena nanti penuh. Nggak semuanya bisa dipertahankan untuk dibawa ke
tempat baru, karena ternyata memang sudah usang dan waktunya pensiun. Nggak
semuanya bisa dibawa bersama, karena ternyata lo udah nggak lagi merasa itu
cocok dan penting.
See?
Kita pandai menilai kalau itu soal barang,
tapi nggak kunjung pinter-pinter kalau urusannya soal manusia dan perasaan. Ya
nggak masalah sih, lagian hidup meminta kita untuk terus-terusan belajar, apalagi
soal melepaskan dan mengenali diri sendiri.
Dari awal tahun sampai detik gue
menuliskan ini, gue masih dalam masa transisi untuk membiasakan diri. Selain
pindahannya yang bikin ngomel-ngomel, ternyata mengganti kebiasaan juga cukup
merepotkan.
Jujur, kalau urusan soal mengganti
tujuan hidup gue kayaknya udah khatam di level tinggi. Tapi kalau urusan
mengganti kebiasaan—yang harusnya sih ya levelnya lebih cetek—gue malah nggak
khatam-khatam. Nggak tahu juga kenapa, tapi kayaknya sih ini perkara nyaman.
Duh, nyaman dibawa-bawa tuh emang
susah.
Segala yang lucu-lucu jadi lewat
kalau nyaman udah ditempel di kening. Benar atau betul?
Menyamankan diri untuk berada di
semua hal yang baru tuh nggak pernah bisa singkat. Tapi sayangnya, di zaman
sekarang ini semuanya dituntut serba cepat. Bahkan kayaknya dari awal tahun,
gue masih belum punya ruang untuk napas
yang cukup banyak. Ya setidaknya untuk sedikit merasa tenang. Well, mungkin itu juga yang bikin agak
kewalahan untuk bisa cepat menyesuaikan diri.
Heran, hidup makin ke sini kok ya
makin rumit. Tapi anehnya, otak gue lebih kalem menyikapi semuanya. Kalau
dianalogikan tuh kayak gue merasa, ya udah pelan-pelan aja, bisa sekarang Alhamdulillah,
nggak bisa sekarang besok dicoba lagi.
Iya gue diburu-buru waktu. Iya gue
dikejar-kejar banyak kepentingan dan penyelesaian. Tapi, iya di saat itu juga
gue merasa kalau hidup nggak semestinya dibikin berat dengan cepat-cepat.
Karena yang ada justru lupa untuk menikmati apa yang sedang ada. Oke, gue
kayaknya mulai melebar ke mana-mana.
Tapi intinya sih, gue lagi-lagi
disadarkan oleh keadaan dan kenyataan, jika memang betul banyak hal dalam hidup
yang nggak bisa dengan mudah untuk berganti dan diganti. Semuanya butuh proses,
semuanya butuh waktu, semuanya butuh disusun ulang, bahkan semuanya butuh untuk
berpindah—dalam hal apa pun.
So, yeah!
Selamat datang lagi di kehidupan
yang baru.
Untuk 2021 yang sudah hampir
memasuki penghujung Maret, terima kasih sudah mengajarkan jika berpindah tidak
pernah mudah dan butuh waktu, tapi sebenarnya bisa untuk dilalui dan dinikmati.
No comments
Post a Comment