Kota yang sama yang membuatku tegak berdiri
Kota yang sama yang membuatku merasa sepi
Tahu kan ya penggalan lirik lagu
di atas punya siapa?
Iya, itu dari lagu Jakarta-Jakarta milik Mas Kunto—yang semoganya bisa live
mendengar beliyo di tahun ini—lagu yang nggak sengaja keputar di pagi ini.
Pagi di bulan November yang
kembali berhasil dilalui setelah badai menerpa. Apalah, sok puitis banget hehe.
Setiap dengar lagu ini, saya selalu merasa punya kekuatan untuk tetap bertahan
hidup meski lagi-lagi harus menyeret langkah.
Tenang, saya nggak akan pernah
bilang Jakarta lebih baik dari kota lain, atau Jakarta lebih buruk dari kota
lain. Buat saya setiap kota punya masalahnya, individu di dalamnya juga punya
beban dan perjuangannya sendiri-sendiri. Jadi ya, setiap kota akan selalu punya
sisi terbaik dan terburuknya.
Namun mungkin buat saya pribadi,
karena ya saya jauh lebih lama tinggal di Jakarta, jadilah kota ini punya sisi
magis yang luar biasa sering bikin saya pengen nangis. Mulai dari ramainya yang
nggak pernah rehat, perjuangannya yang udah kayak kejar-kejaran sama entah apa,
belum lagi sederet keresahan lain yang timbul karena gaya hidup yang luar biasa
bikin sesak.
Pernah nggak sih kalian ngerasa
capek yang ya udah capek aja, gatau penyebabnya apa, tapi tahu bahwa lelah udah
merundung pundak dengan terlalu?
Kalau pernah, saya penasaran rasanya
kayak apa? Mirip nggak kayak yang sering saya rasakan? Atau mungkin rasanya tuh
kayak orang mau tenggelam, nggak?
Tadi pagi, sewaktu lagi siap-siap
ke kantor, saya keinget satu waktu di mana saya udah hampir tenggelam. Ini
maksudnya tenggelam yang beneran tenggelam di kolam renang lho ya hehe.
Rasanya gimana? Nggak enak,
panik, takut.
Karena waktu itu, saya udah usaha
minta tolong dan melambai-lambai, tapi nggak ada yang lihat. Padahal life
guardnya ada, tapi tetap aja di saat itu nggak ada satu orang pun yang sadar kalau
saya lagi butuh bantuan. Terus kalau sekarang diingat-ingat lagi, aneh juga
kenapa saat itu saya bisa hampir tenggelam, padahal saya bisa berenang, ya
walau nggak jago-jago amat, setidaknya bukan gaya batu yang pasrah tenggelam
gitu ajalah pokoknya.
Terus gimana bisa selamat? Saya lupa
jelasnya gimana, tapi saya ingat ada tangan yang bantu saya sedikit mengapung
lalu dituntun buat ke pinggir. Saya nggak inget banyak kecuali kata-kata dia
yang bilang, “Kram ya? Gapapa, mungkin tadi kurang pemanasan aja.”
Lalu ya udah dia pergi tanpa sempat saya ucapin makasih. Karena sumpah saat itu saya kaget dan nggak bisa mikir sama sekali. Kosong yang sebenar-benarnya kosong. Dan terakhir kali sebelum diselamatin, saya sempet mikir udah waktunya kali ya. Udah cukup juga berjuangnya minta bantuan, tapi nggak ada yang ngeliat. Mungkin saya memang harus pergi sendirian. Pasrah aja deh, karena kalau memang udah saatnya berpulang, ya saya nggak bisa apa-apa.
Lalu ya udah dia pergi tanpa sempat saya ucapin makasih. Karena sumpah saat itu saya kaget dan nggak bisa mikir sama sekali. Kosong yang sebenar-benarnya kosong. Dan terakhir kali sebelum diselamatin, saya sempet mikir udah waktunya kali ya. Udah cukup juga berjuangnya minta bantuan, tapi nggak ada yang ngeliat. Mungkin saya memang harus pergi sendirian. Pasrah aja deh, karena kalau memang udah saatnya berpulang, ya saya nggak bisa apa-apa.
Dan pagi ini saya teringat kalau saya
pernah ada di titik perasaan seperti itu. Bahkan mungkin, saya masih sering
mengulang perasaan itu ketika semua hal dirasa sia-sia. Ketika menemui kata
gagal, ketika merasa dunia nggak pernah mengerti dan mau untuk berpihak.
Ajaib ya, dunia tuh senang banget
ngasih ingat kita dengan kejadian yang udah lampau lewat macem-macem cara,
hanya untuk memastikan bahwa kita pernah mengalami dan kita sanggup melewati.
Jadi ceritanya, kemarin sempat
saya ingin pasrah, sepasrahnya hidup untuk akhirnya mengakhiri semuanya yang
dirasa ya udahlah sia-sia. Dan ya, kata percuma itu berputar terus-terusan di
kepala. Bahkan belum cukup hanya di kepala, akhirnya semua kata percuma itu
kembali dilontarkan di hadapan saya. Merasa dipojokkan, merasa disalahkan,
merasa nggak bisa pernah dimengerti di saat semua yang saya lakukan selama ini
adalah upaya untuk mengerti.
Ya manusia mah memang gitu,
selalu akan berakhir dengan merasa lebih super dari yang lain. Mengaku lebih
cinta daripada yang lain, mengaku lebih suka dari yang lain, mengaku lebih
berjuang dari yang lain, dan sederet pengakuan lain yang akan mengintimidasi
lengkap dengan sederet bukti pembenaran.
Gapapa sih, wajar. Lalu kemudian,
pagi ini saya diingatkan lagi dengan kejadian waktu hampir tenggelam dulu, dan
akhirnya saya berpikir ulang dengan kejadian itu.
Saya jadi merasa, mungkin memang
kita harus selalu punya waktu untuk sendiri, terlepas dari benar tidaknya kita
sendirian. Mungkin memang kita selalu akan berjuang sendirian, terlepas dari
ada atau tidaknya orang di sebelah. Mungkin, memang lagi-lagi kita yang harus
lebih punya kekuatan bangkit, terlepas dari ada tidaknya tekanan dan semangat
dari sekitar.
Mungkin, mungkin memang kita akan
selalu merasa sendirian meski sebenarnya kita nggak benar-benar sendiri. Karena
dari sejak lahir hingga nanti selesai pun, kita tetap akan
mempertanggungjawabkannya sendirian.
Kalau boleh mengutip salah satu
dialog di Kdrama Extraordinary You; Hidup
adalah penderitaan.
Mau nggak mau saya setuju dengan
kalimat itu, karena ya memang hidup isinya berjuang, berjuang, berjuang, dan
terakhirnya bertahan. Mungkin itu juga yang sedang Tuhan ingetin ke saya di
pagi hari tadi.
Bisa jadi saya sudah lelah, bisa
jadi saya sedang merasa ingin menyerah, dan merasa lebih baik tenggelam saja. Tapi
di akhir dari semua rasa itu saya harus ingat lagi kalau sekuat apa pun
keinginan saya untuk menjadi selesai, kalau Tuhan masih bilang belum, ya
tandanya saya harus cari cara untuk tetap bertahan. Entah dengan cara seperti
apa, bahkan mau sampai ubah kaki jadi kepala bahkan kepala jadi kaki sekalipun, intinya Tuhan
bilang masih harus berjuang lagi.
Dan lagi-lagi, pertanyaan yang
akan selalu kembali menghampiri di saat saya sudah mau menyerah masih akan
tetap sama.
Kalau
bukan kamu, siapa lagi?
Kalau
bukan sekarang, kapan lagi?
Nggak pernah ada orang yang
benar-benar mengerti diri kita dengan baik, selain diri sendiri. Nggak pernah
ada orang yang benar-benar ingin tetap ada tanpa rasa lelah, selain diri
sendiri. Nggak akan ada orang yang sepenuhnya tulus mengulurkan tangan, kalau
kita nggak teriak minta tolong dengan sekuat tenaga. Dan ya, nggak akan pernah
ada yang mau bantu kita, kalau diri sendiri nggak mau untuk dibantu dan bangkit
lagi.
Selamat hari-hari menjelang November berakhir temans!
Mungkin hari ini jauh lebih berat
dari kemarin, tapi percaya aja, kita masih bisa melalui segalanya sendiri meski
pulang nggak pernah mudah. Karena mereka—yang selalu ada di sebelah, bisa jadi masih menunggu kita untuk kembali.
Walau kelihatannya nggak ada, walau seringnya dianggap nggak ada.
Kota panas penuh kehausan dari manusia kelam
ReplyDelete