Jadi ceritanya semalem pas lagi asyiknya ngerapihin buku dan lagi sibuk baca, eh ada yang nge-pm bilang “nulis dong bel.”
Sejujurnya itu semacam tamparan yang sangat berpotensi bikin pipi jadi merah kalau beneran dilakukan. Karena, memang lagi susah banget untuk nulis, entah waktunya nggak ada, entah karena memang terlalu meledak isi kepala sampai susah mau nerjemahinnya jadi tulisan atau karena ke-entah-an lainnya. Ngeles aja emang anaknya huhu.
He said, “coba kamu nulis yang beda. berhenti ngasih batasan ke diksimu.”
Ini makin aja udah jadi tamparan yang ke sekian ratus di hari kemarin.
Terus nanya dong ya kenapa tiba-tiba bahas tulisan saya, terus dijawab dengan, “sebenernya ga ngebahas tulisanmu sih, cuma mau ngajak nulis aja. kamu sendiri yang bahas tulisanmu hehe."
Damn! Lagi-lagi kepancing sama ini manusia satu, resek emang, gmz, kzl. Coba ada di depan muka hih udah dijambak kali tuh. Gapapa selama dia yang ngasih tamparan-tamparan kayak gitu, im okay, buat manusia kesayangan mah rela-rela aja dah HAHA. Puas lo? Pft.
Terus pagi ini jadi mikir, tentang kebebasan untuk menulis dan menjadi diri sendiri dari tulisan-tulisan yang kita buat. Then connecting the dots, saya teringat dengan salah satu kalimat di film The Book of Life yang dia rekomendasiin juga, "Manolo conquered his greatest fear, being himself.” Terlebih dengan sialnya di dashboard muncul tulisan saya yang ‘merdeka=bebas?’
Whattaday! Iya emang, semesta sedang berkonspirasi ngebuat saya untuk mikir, mikir dengan tulisan-tulisan yang selama ini merajai tumblr–entah tulisan saya sendiri atau tulisan mereka-mereka yang saya follow.
Kita sering banget dihadapkan dengan pertanyaan, “Apa yang gue tulis bermanfaat nggak sih buat pembaca? apa yang gue tulis bisa mereka sukai atau nggak? Apa yang gue tulis bisa gue pertanggung jawabkan atau nggak nantinya?”
Nggak munafik, admit it, selalu ada pertanyaan itu yang muncul di kepala ketika kalian udah punya followers. Pasti. Sampai akhirnya di tulisan-tulisan yang ngandung rasa-rasa yang udah usai itu ada satu hal jadi pertanyaan besar, "Seberapa jujur lo nulis itu dengan menjadi diri sendiri?“
At the end, karena nggak nyadar tulisan ini udah fanjang banget, cuma mau bilang kalau ketakutan terbesar kita untuk menjadi diri sendiri bukan karena orang lain, bukan karena omongan orang lain juga, tapi karena diri kita sendiri.
Diri kita sendiri yang takut untuk nerobos batasan itu. Batasan yang secara nggak sengaja dan secara nggak sadar kita buat sendiri, hanya agar kita bisa ngelindungin diri kita dari ketakutan-ketakutan fiktif yang kita ciptain sendiri. Ketakutan untuk nggak dianggap eksistensinya di muka bumi ini oleh orang lain.
What is your worst fear? Go find out, but don’t forget, just be yourself! Cause You Only Live Once.
No comments
Post a Comment