"Ya udah pas."
"Apanya yang pas Sisi?"
"Kita semua pesen itu, nanti lo cobain satu-satu aja. Mau yang mana, pilih aja."
Katanya, di lingkungan pertemanan yang kamu miliki, akan selalu ada satu yang mampu meringkas segala kerumitan dan perbedaan yang ada. Dan mungkin, di antara gue dan ketiga lainnya, Shira yang berperan melakukannya.
Meski sebetulnya pun gue yakin dia sering melakukannya hanya agar perdebatan tak kian panjang, apalagi di cuaca terik Jakarta saat ini.
"Ih beneran?"
Binar bahagia yang terpancar dari manik mata Lintang membuat gue justru tergoda untuk mengerjainya, "Gue nggak setuju sih."
"Tuh Utari nggak mau, Si," rajuknya diikuti dengan bibir yang sudah berlipat bahkan maju bermeter-meter.
Iya gue tahu itu analogi yang berlebihan. Tapi gue juga tahu bahwa meski semuanya kadang berlebihan, gue menyukai persahabatan yang terjalin ini. Persahabatan yang nggak sempurna, tapi gue tahu bahwa saling melengkapi jadi satu kesatuan di antara banyaknya keras kepala kami masing-masing.
Sesuatu yang membuat gue setidaknya merasa jauh lebih hidup, dan sedikit berwarna setelah banyak gelap, bahkan abu-abu di hitam putihnya dunia gue.
Shira enggan menanggapi gue, ia hanya menggelengkan kepalanya dengan sedikit tawa kecil yang terdengar. Jaket jin yang semula dia gunakan untuk menutupi crop tee-nya bahkan kini sudah dia lepaskan, membuat angin semakin kencang menerpa kulit dan juga rambutnya yang di-curly pagi tadi.
"Ras, gimana?"